WahanaNews - Papua | Lima dari tujuh anak Alexander Fauwawan korban kekejaman KKB pimpinan Egianus Kogoya di Nduga, kini harus mengungsi dan tinggal di sebuah kontrakan kecil di Timika, Provinsi Papua Tengah.
Sementara istri Alexander yakni Listria harus kembali ke Distrik Kenyam, Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Pegunungan, untuk meneruskan usaha kayu almarhum.
Baca Juga:
Jenazah Korban Penembakan KKB, Stevan Wakari Dievakuasi ke Mimika
Kakak Alexander yakni Yuliana Fauwawan masih merasa sesak di dada, kecewa dengan yang terjadi pada adiknya dibunuh secara kejam, ditembak kemudian digorok oleh Egianus dan kawan-kawan KKB.
Yuliana mengatakan, Alexander merintis usaha kayu dan berkembang di Nduga sejak 2012. Bahkan Alex sudah menganggap penduduk setempat seperti keluarga.
"Masyarakat tahu dia (red-Alexander) bukan orang baru, dia membantu bangun rumah, bangun gereja tidak pakai biaya dari hasil tangannya. Banyak di Nduga paling sayang dia sekali. Bahkan mereka keluar-masuk untuk makan di rumah adik saya. Mereka (KKB) bukan manusia tidak berprikemanusiaan, mohon maaf mereka binatang," kesalnya.
Baca Juga:
KKB Bunuh Warga Sipil di Kali Wabu Intan Jaya
Ia menceritakan peristiwa yang tidak dapat dilupakan, pada 16 Juli 2022 lalu, adiknya pagi hari mau membeli rokok. Padahal ketika itu sudah mendapatkan kabar ada penembakan yang menyebabkan tiga orang tewas. Namun, adiknya tidak merasa khawatir karena sudah saling mengenal satu sama lain.
Kejadian penembakan adiknya hanya berjarak 200 meter dari rumah almarhum. Ketika Alexander mengurunkan niat untuk melihat peristiwa kabar penembakan dan hendak balik, korban ditembak dan langsung jatuh dari motor. Ketika itu, anggota KKB langsung menggorok leher almarhum.
"Percuma kota yang kita tinggal masih panas-panas seperti itu, masyarakat asli setempat sendiri juga takut dengan mereka (KKB), karena mereka juga bisa jadi korban. Keluarga terlalu sakit, penyesalan kita boleh kalau tidak kenal, keluar masuk makan apa kesalahan dia (Alex) di Nduga," ujarnya.
Yuliana mengaku keluarga besar Fauwawan berdarah Maluku masih berduka. Apalagi melihat keponakannya Tita (19) dan Yuli (16) harus mengurus ketiga adiknya yang masih kecil di sebuah rumah kontrakan.
Sementara adik iparnya harus kembali ke Nduga untuk meneruskan usaha Alexander agar keponakan-keponakannya bisa bertahan hidup.
"Saya paling sayang sama saya punya keponakan, tapi saya juga punya tanggung jawab keluarga. Kini mereka tinggal di sebuah kontrakan, kasihan mereka," ucapnya.
Ia juga mengaku kecewa dengan bupati Nduga. Pasalnya, ketika jenazah di makamkan di Timika, berjanji akan memperhatikan keluarga adiknya.
"Di depan peti jenazah adik saya, bupati berjanji untuk memperhatikan keluarga adik saya. Tapi sampai sekarang tidak ada respon, kami tidak menginginkan uang, tapi apa yang ia janjikan di depan jenazah adik saya," tambahnya.
Sementara Tita dan Yuli mengaku masih mengingat peristiwa pembantaian yang dilakukan KKB kepada warga pendatang.
Mereka bersembunyi tidak berani keluar rumah dan khawatir dengan keberadaan ayahnya yang saat itu pergi mencari ke luar rumah.
"Dapat kabar dari om, papah ditembak. Lalu kami sekeluarga ke puskesmas. Ternyata saat itu papah sudah tidak ada (red-meninggal)," kata Tita.
Keduanya mengaku masih merasa sedih dan merindukan sang ayah. "Kangen papah," ungkap Yuli yang tidak bisa membendung air mata yang keluar.
Keduanya juga sangat khawatir dengan ibunya yang kembali ke Nduga. Sudah berbulan-bulan mereka tidak bertemu. Untuk mengobati kerinduan, hanya dengan telepon, karena mereka masih trauma untuk kembali ke Nduga berkumpul bersama-sama.
Untuk diketahui Alexander adalah satu dari 10 korban yang meninggal dunia akibat serangan KKB di Nduga pada Sabtu (16/7/2022) tahun lalu.
Tinus Janwarin bercerita terkait teror KKB kepada dirinya.
Ditempat terpisah, Tinus Janwarin salah satu dari 15 pekerja pembangunan puskesmas di Distrik Paro, Kabupaten Nduga yang dievakuasi Satgas Damai Cartenz dari intimidasi kelompok kriminal bersenjata (KKB) Egianus Kogoya, ia mengaku masih trauma.
Pria berdarah Maluku ini menceritakan apa yang terjadi hari demi hari mendapatkan intimidasi dari KKB selama melakukan pembangunan puskesmas.
Saat pengerjaan pertama pada pertengahan Desember 2022 lalu sudah mendapatkan teror.
Semua barang yang dibawa oleh pekerja diperiksa oleh KKB, baik itu dompet, HP dan identias. Kelompok kriminal tersebut juga membakar barang-barang milik pekerja.
"Ketika kita sampai di rumah yang kita tempati sementara, barang-barang diperiksa, barang yang tidak penting juga dibakar oleh mereka. Identitas kita juga disita, dan pada malamnya baru dikembalikan," kata Tinus di kediamannya di Timika, pada Selasa (7/3/2023).
Teror pertama dirasakan pada 29 Desember 2022. Pada malam hari Egianus dan kelompoknya datang ke Paro. Namun ia tidak mengetahui yang mana orangnya. "Kita hanya dikasih tahu oleh masyarakat setempat komandan besar di sini, tapi tidak dikasih tahu namanya," ungkapnya.
Pada saat ada Egianus dan kelompoknya, masyarakat setempat memberitahukan kepada kontraktor dan kepala tukang (mandor) agar tidak boleh keluar di malam hari.
"Hanya boleh di tempat tinggal dan di tempat kerja juga. Boleh bekerja kalau sudah diperintahkan oleh mereka (KKB)," kata Tinus yang bermarga Kei.
Egianus sempat marah besar kepada para pekerja. Ia mengatakan ada yang menuding para pekerja telah mengumpat kepada pimpinan KKB itu. Kepala tukang kemudian dipanggil oleh Egianus dan dibentak dengan kata-kata binatang.
"Padahal kita tidak pernah berkata kasar. Dia kemudian mengeluarkan kata-kata binatang dan juga bilang kerja cepat! nyawa kamu ditangan saya," cerita kepala tukang kepada para pekerja.
Mengetahui ada ancaman tersebut, pada malam harinya para pekerja pun ketakutan dan tidak ada yang bisa tidur sampai pagi. Bahkan belum bisa melakukan pekerjaan pembangunan puskesmas, sebelum ada keputusan dari KKB.
"Bapak tukang bilang jangan keluar duduk di rumah, habis mereka bikin adat kita bisa kerja atau tidak, demi kita keselamatan jangan keluar," ungkapnya.
Ia juga menceritakan pada pengerjaan tahap dua di Fabruari 2023 untuk menyelesaikan pembangunan puskesmas, Egianus juga kembali marah. Tidak hanya kepada para pekerja, namun juga masyarakat di Distrik Paro.
"Februari saat kita kerja setahu saya yang kedua kali itu sempat dia (Egianus) punya HP atau HT hilang. Kita disuruh pulang dan masyarakat semua disuruh mencari barang yang hilang," ucapnya.
Para pekerja sambung Tinus dibantu diungsikan ke balai desa pada Minggu (5/2/23). Mereka diminta untuk meninggalkan Paro setelah adanya kesepakatan antara kontraktor dengan pihak KKB yang dimediasi oleh tokoh setempat.
"Dapat informasi dari mandor dan pemborong, mereka rapat kita tidak tahu apa yang dibicarakan, Minggu kita harus jalan, dikasih waktu dua hari untuk tinggalkan Paro jalan ke Kenyam, jalan lewat hutan, bapak kontraktor bayar material, sudah dibayar, Senin kita jalan," katanya.
Masyarakat Paro kata Tinus juga merasa ketakutan dan ikut mengungsi ke dalam hutan. "Kita mengungsi ke arah pegunungan mengarah Kenyam. Sementara penduduk ke daratan," sambungnya.
Selama perjalanan tiga hari sejak Senin 6 Februari hingga Rabu 8 Februari, belum sampai di Kenyam, belasan pekerja berhasil dievakuasi oleh TNI-Polri menggunakan helikopter.
"Saya lega saat mendengar helikopter dan pada saat di helikopter kita baru tahu kita sudah selamat. Ada bapak Kapolres Nduga yang menyelamatkan kita dengan TNI evakuasi kita sampai Timika," ungkapnya.
Tinus mengaku tidak mau lagi kembali ke Nduga. "Saya masih trauma. Puji tuhan saya dan teman-teman selamat," tutup Tinus. [bawi/anang/hot]