WahanaNews-Papua I Terdapat sebuah legenda yang menceritakan bahwa masyarakat Suku Asmat adalah titisan seorang dewa yang bernama Fumeripitsy.
Diketahui pada masa lalu, sang dewa turun ke bumi dan memulai petualangannya dari ufuk barat matahari terbenam.
Baca Juga:
Langkah Pengamanan Menjelang Pilkada Serentak, Asistensi Operasi Damai Cartenz di Intan Jaya
Suku Asmat yang berada di Tanah Papua merupakan suku terbesar di provinsi paling timur Indonesia.
Namun di tengah perjalanannya, Dewa Fumerispitsy berhadapan dengan seekor buaya raksasa.
Mereka bertarung dan Fumerispitsy berhasil mengalahkannya.
Baca Juga:
Denisovan, Manusia Purba yang Kuat: Jejak DNA-nya Masih Hidup di Orang Papua
Sang Dewa terluka parah dan terdampar di sebuah tepian sungai, seperti dikutip dari Indonesiakaya.com.
Di tengah kesakitannya, Sang Dewa berusaha bertahan hingga ia bertemu seekor burung flaminggo yang baik dan merawat luka Sang Dewa hingga sembuh.
Setelah sembuh, Sang Dewa tinggal di di wilayah tepian sungai dan membuat sebuah rumah untuk tinggal.
Ia juga mengukir dua patung yang sangat indah serta membuat genderang dengan suara yang nyaring.
Gendang itu ia gunakan untuk mengiringinya menari tanpa henti. Begitu dahsyatnya suara genderang hingga kedua patung yang diukir oleh Fumerispitsy menjadi hidup.
Dua patung tersebut kemudian ikut menari mengikuti gerakan Sang Dewa yang menabuh genderan.
Konon, kedua patung itulah pasangan manusia pertama yang menjadi nenek moyang Suku Asmat di Tanah Papua.
Mitologi di atas hidup di kalangan masyarakat Suku Asmat.
Mereka memiliki sistem kepercayaan serta adat istiadat yang menarik hingg mengundang para peneliti dari seluruh penjuru dunia berkunjung ke kampung Suku Asmat.
Dikenal Khalayak Tahun 1930
Dikutip dari pemberitaan Kompas.com, nama Suku Asmat dikenal khalayak pada tahun 1930 saat suku ini melakukan serangan ke daerah suku Mimika.
Suku Asmat mendiami dataran rendah berawa-rawa, berlumpur dan ditutupi oleh hutan tropis.
Mereka mendiami beberapa kawasan di wilayah Kecamatan Agat, Suwa Elma, Ady dan Pantai Kasuari.
Namun perpaduan budaya Suku Asmat dengan budaya lain terjadi saat ekspedisi orang Eropa di wilayah Pasiwifik sekitar tahun 1904.
"Ekspedisi pertama dan kedua dilakukan Lorentz dan berikutnya oleh Franssen Herderschee. Ekspedisi berikutnya dilakukan pda tahun 1922 dan 1923," jelas Widharyanto tulisannya berjudul Kondisi Papua Terkini: Berangkat dari Kasus Asmat.
Sejak saat itu ekspedisi ke tanah Papua terus dilakukan. Semua ekspedisi tersebut merupakan ekspedisi ilmiah.
Ekspedisi penyebaran agama juga terjadi sekitar tahun 1912-an. Pos pertama gereja di daerah Asmat dibuka pada tahun 1953 oleh Pastor Zegwaard dan Pastor Welling.
Dilansir dari Budaya Lokal Sebagai Potensi dalam Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kabupaten Asmat karya L. Edhi Prasetya, suku Asmat memiliki sistem kepercayaan tradisional sebelum ajaran Katolik datang.
Suku ini mengenal tiga konsep dunia yaitu, amat ow capinmi yang berarti alam kehidupan sekarang, dampu ow capinmi yang artinya alam persinggahan roh yang sudah meninggal, dan safar yang berarti surga.
Menyebar di Pesisir Laut Arafuru hingga Jayawijaya
Masyarakat suku Asmat menyebar dari pesisir pantai laut arafuru hingga pegunungan Jayawijaya.
Secara keseluruhan mereka menempati wilayah kabupaten Asmat yang punya kurang lebih 7 kecamatan.
Walau nampaknya dekat, namun jarak antar kampung dan kampung dengan kota kecamatan sangat jauh, bahkan perjalanannya dapat memakan 1 hingga 2 hari dengan berjalan kaki.
Hal ini terjadi karena kendaraan tak bisa masuk ke wilayah Asmat yang berawa-rawa dan hanya bisa dilewati dengan perahu atau berjalan kaki.
Suku Asmat dikenal sebagai pengukur yang handal dan menjadikan nama Asmat mendunia hingga saat ini.
Selan seni ukir, salah satu tradisi Suku Asmat yang menarik untuk disimak adalah keberadaan rumah bijang atau biasa disebut jew.
Rumah ini adalah bagian penting yang tidak terpisahkan dari kehidupan suku Asmat.
Jew menjadi rumah utama tempat mengawali segala kegiatan suku Asmat di tiap desa yang ada. Begitu pentingnya, hingga dalam mendirikan Jew pun ada upacara khusus yang harus dilakukan.
Jew, hanya ditinggali oleh pria-pria yang belum menikah. Sesekali kaum wanita boleh masuk tetapi harus dalam situasi pertemuan besar.
Suku Asmat banyak memiliki kesenian tari dan nyanyian. Mereka menampilkan tari-tarian berikut nyanyian ini ketika menyambut tamu, masa panen, dan penghormatan kepada roh para leluhur.
Mereka sangat hormat kepada para leluhurnya, hal ini terlihat dari setiap tradisi yang mereka miliki.
Walaupun kini kebudayaan modern sudah banyak berpengaruh pada kehidupan mereka, namun tradisi dan adat Asmat akan sulit untuk dihilangkan. (tum)