Wahananews-Papua | Dalam Zoom Meeting DPRP bersama Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia terkait Raperdasus Tata cara Pencalonan Anggota MRP Pada tanggal 12 Desember 2022 di Hotel Aston Jayapura Papua, DPRP sama sekali tidak membahas soal hak-hak dasar Perempuan Papua.
Juga Majelis Rakyat Papua yang memiliki wewenang dalam rangka perlindungan hak-hak dasar orang asli Papua.
Baca Juga:
Gelar Konferensi Pers Terkait DPRP Papua Barat Daya Melalui Mekanisme Pengangkatan, Ini Kata Ketua Panitia Seleksi
Dimana hal ini di landasi dengan proteksi dengan penghormatan terhadap adat, budaya, seni, pemberdayaan, religi, perempuan dan pemantapan kerukunan hidup beragama sebagaimana diatur dalam UU RI No 21 Tahun 2001 Junto UU RI nomor 35 tahun 2008 tentang otonomi khusus bagi provinsi papua.
Namun yang terjadi dalam 10 tahun terakhir, MRP tidak menjalankan wewenangnya dengan baik.
Hal ini disampaikan Michelle Kurisi Doga S. Sos S. Ikom salah satu Tokoh Perempuan La Pago, juga Aktivis Perempuan & Anak Indonesia dalam keterangan tertulis kepada Wahananews.co melalui pesan WhatsApp di Jayapura (16/12).
Baca Juga:
Ketua MRP Papua Apresiasi dan Sampaikan Harapan kepada Institusi Polri
Ia bilang, pada tahun 2019 pihaknya pergi mengadu ke MRP tentang suara Perempuan namun tidak ada aturan yang melindungi hak-hak dasar perempuan Papua.
Hak politik dan kursi politik di rampas oleh beberapa politikus dari luar Papua.
Beberapa anggota MRP termasuk ketua MRP mengklaim dan berjanji akan menyelesaikan masalah tersebut namun sampai hari ini tidak ada tindak lanjut dari MRP untuk kewenangan hak-hak politik Perempuan Papua.
Sebentar lagi kita memasuki tahun politik 2024, menurut data statistik orang asli Tabi dan Saireri hari ini menjadi minoritas.
Menurut Michelle, laporan kekerasan dalam rumah tangga korban paling banyak adalah perempuan Tabi dan Saireri.
Sementara data pengusaha Perempuan asli Papua Tabi dan Saireri menduduki posisi paling rendah.
Di tengah keterbatasan perempuan Tabi dan Saireri sebagian besar dari mereka sudah dan telah menyelesaikan pendidikan di luar negeri, mereka memiliki kemampuan di atas rata-rata.
“Sama halnya, salah satu adik perempuan saya di usianya yang ke 24 tahun telah menyelesaikan pendidikan di USA dengan predikat cumlaud namun mereka tersisikan, kemampuan mereka di abaikan oleh karena aturan-aturan yang sudah tidak layak di implementasikan di era milenial ini”, ujar Michelle.
“Saya sebagai Aktivis Perempuan dan Anak meminta kepada Badan Pembentukan Peraturan Daerah DPR PAPUA untuk menunda penetapan Raperdasus sampai kajian terhadap tata cara pemilihan anggota MRP khusus Perempuan di rubah”, ungkapnya.
Perempuan Tabi dan Saireri sudah maju, berikan kesempatan bagi mereka yang mampu untuk duduk dan berpikir bagi daerah mereka.
Persyaratan untuk Perempuan Tabi dan Saireri harus lulusan S1, mampu berbahasa inggris dan juga mampu menguasai hukum.
Pembagian kursi pun harus di utamakan Akademisi, Perempuan Tabi dan Saireri butuh perubahan di dalam sistem, biarkan mereka duduk dan mengunakan kewenangan mereka dengan baik.
Dengan ini, saya Aktivis Perempuan dan Anak NKRI meminta agar DPRP segera meluangkan waktu untuk Anak dan Cucu Ondoafi Tabi dan Saireri untuk memberikan masukan terkait kursi perempuan di MRP, demikian Michelle Kurisi Doga. [hot]