WahanaNews-Papua | Juru Bicara Jaringan Damai Papua (JDP) Yan Christian Warinussy, SH ingin mengingatkan kembali semua pihak di Tanah Papua yang terlibat konflik bersenjata, hingga saat ini bahwa konflik bersenjata sampai kapan pun tidak akan bisa menyelesaikan persoalan Papua, tetapi jalan damai niscaya dapat ditempuh untuk mengakhiri konflik berkepanjangan berusia sama dengan integrasi Irian Barat (kini : Tanah Papua/dahulu Irian Jaya) ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Hal ini disampaikan Warinussy dalam keterangan tertulisnya kepada Papua.WahanaNews.co, Sabtu (7/5).
Baca Juga:
Satgas Operasi Damai Cartenz Evakuasi Jenazah Pilot Helikopter, JDP Dorong Dilakukan Investigasi
Dia berpendapat, menurut pandangan JDP berdasarkan hasil studi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dikenal dengan sebutan Papua Road Map (Peta Jalan Papua) yang merupakan hasil riset dari para peneliti seperti Muridan S.Widjojo, Andriana Elisabeth, Amiruddin Al-Rahab, Cahyo Pamungkas Rosita Dewi.
Abstrak dari Papua Road Map tersebut, sumber-sumber konflik di Tanah Papua dikelompokkan dalam 4 (empat) isu, yaitu, pertama, masalah marginalisasi efek diskriminatif terhadap orang asli Papua (OAP), akibat pembangunan ekonomi, konflik politik migrasi massal ke Papua sejak tahun 1970.
Tawaran pemecahan (treatment) yang ditawarkan oleh LIPI agar dijalankan kebijakan afirmatif rekognisi demi kepentingan pemberdayaan OAP.
Baca Juga:
Ini Pernyataan Sikap Jaringan Damai Papua (JDP) Terkait Penembakan Yan Christian Warinussy di Manokwari
Kedua, soal/isu kegagalan pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan pemberdayaan ekonomi rakyat.
Tawaran solusinya ialah diperlukan semacam paradigma baru pembangunan yang berfokus pada perbaikan pelayanan publik demi kesejahteraan OAP di kampung-kampung.
Ketiga, adanya kontradiksi sejarah konstruksi identitas politik antara Papua Jakarta.
di mana solusinya adalah bisa dicapai melalui dialog seperti yang sudah dilakukan untuk Aceh.
Keempat, ialah pertanggung-jawaban atas kekerasan negara pada masa lalu terhadap warga negara Indonesia di Papua.
Solusinya adalah melalui jalan rekonsiliasi di antara pengadilan hak asasi manusia (HAM) pengungkapan kebenaran sebagai pilihan-pilihan untuk penegakkan hukum keadilan bagi Papua, terutama korban, keluarganya warga negara Indonesia di Papua secara umum.
Atas dasar itu, JDP senantiasa menyerukan pentingnya negara Indonesia yang dipersonifikasikan pada diri seorang Presiden selaku Kepala Negara untuk memberi keputusan politik mengenai jalan penyelesaian damai atas persoalan Papua melalui dialog Jakarta-Papua sejak sekarang ini.
Lanjut Warinussy sebagai juru bicara JDP, sebagaimana pernah ditulis oleh Paulo Freire, dalam bukunya : Pendidikan Kaum Tertindas, bahwa dialog tak akan pernah selesai pada dialog itu sendiri, tetapi menjadi sebuah alat untuk mengembangkan pemahaman yang lebih baik dari objek pengetahuan.
Dengan begitu, sesungguhnya JDP memahami bahwa tak ada alasan apa pun yang muncul sebagai penghalang bagi negara untuk tidak menerima tawaran dialog dalam upaya merekonstruksi perbedaan pemahaman mengenai sejarah integrasi identitas politik Papua Jakarta.
Langkah mempersiapkan dialog sudah semestinya dilakukan sejak sekarang ini oleh Presiden Joko Widodo selaku kepala negara berikut pemerintahnya.
Tercapainya keputusan bagi penyelesaian damai terhadap situasi konflik di Tanah Papua yang sudah berlangsung lebih dari 50 tahun ini seyogianya dimulai.
JDP mengusulkan agar di awal perlu ditempuh segera 4 (empat) langkah strategis, yaitu : Pertama, diberlakukan audit stok opname terhadap peralatan senjata yang dimiliki pasukan keamanan seperti TNI Polri, ini penting untuk memastikan bahwa persenjataan yang dimiliki tidak sedang berada dalam jalur transaksi jual beli yang marak hingga berujung pada proses hukum di pengadilan umum atau peradilan militer.
Kedua, diberlakukannya demiliterisasi terhadap seluruh pasukan keamanan yang bersifat non organik di Tanah Papua dengan peran utama diberikan kepada komando teritorial setempat dalam konteks pengendalian keamanan domestik, termasuk dengan Polri di Tanah Papua.
Ketiga, memberlakukan Jedah Kemanusiaan (humanitarian pause) dengan titik berat pada upaya membuka akses bagi pelayanan publik di bidang kesehatan pendidikan serta gizi bagi rakyat asli Papua di wilayah-wilayah konflik seperti Nduga, Yahukimo, Puncak, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, Deiyai, Dogiyai, Paniai Intan Jaya.
Keempat atau terakhir adalah dengan menunjuk segera tokoh kunci dialog yang mampu menjadi fasilitator dalam memulai proses persiapan menuju dialog Papua-Jakarta dengan berkomunikasi kepada semua pihak yang berkepentingan dalam konflik politik ekonomi di Tanah Papua.
Pihak dimaksud adalah Pemerintah Jakarta, TNI, Polri, Pemerintah Provinsi Papua, Pemerintah Provinsi Papua Barat, DPR Papua Papua Barat, MRP MRPB, TPN OPM, ULMWP, masyarakat asli Papua di Papua Papua Barat, penduduk Papua di Papua Papua Barat, masyarakat asli Papua di luar Tanah Papua, masyarakat asli Papua di diaspora internasional, investor yang berinvestasi di Tanah Papua seperti Freeport Mc Moran British Petroleum (BP), maupun pebisnis Indonesia yang berinvestasi pula di Tanah Papua.
Keikutsertaan semua pihak dalam menginisiasi dialog menjadi kunci penting dalam merancang agenda pembicaraan pada Dialog Papua-Jakarta tersebut, tutup Yan Christian Warinussy. [hot]