Ia juga menyoroti fakta lapangan bahwa keterlambatan pencairan DBH dari pemerintah pusat berakibat langsung pada stagnasi pembangunan dan memperbesar kesenjangan antarwilayah.
Dalam perspektif pembangunan regional, kondisi ini menunjukkan kegagalan fungsi intervensi fiskal untuk mengoreksi ketimpangan spasial.
Baca Juga:
Sejak Nopember Sedikitnya 12 Orang Tewas Akibat Bentrok Pilkada Puncak Jaya
“Jika Pemda salah kelola, saya tidak segan menegur. Tapi kalau pusat yang lalai atau bahkan menahan hak kami, saya akan bicara lantang. Fungsi DPD adalah pengawasan dan pembelaan terhadap hak-hak daerah, dan saya berdiri di sini untuk itu,” tegas Eka.
Lebih lanjut, Eka mengungkapkan kekhawatiran bahwa kontribusi PNBP dari Papua justru digunakan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur di daerah lain yang lebih cepat menyerap anggaran, sementara Papua terus berada di pinggiran distribusi fiskal.
“Jika Papua dianggap beban, padahal faktanya kami adalah kontributor utama PNBP nasional, maka kita patut bertanya: untuk siapa sesungguhnya Indonesia ini dibangun? Jika pemerintah pusat tidak mampu membiayai pembangunan Papua secara adil, katakanlah dengan jujur!” sindirnya.
Baca Juga:
Bentrokan Pilkada di Puncak Jaya, 12 Orang Tewas dan 201 Bangunan Hangus Terbakar
Eka menekankan bahwa masyarakat Papua tidak menuntut perlakuan istimewa, tetapi meminta haknya secara adil.
Ia mendesak agar pemerintah pusat segera membuka secara publik data kontribusi nominal PNBP Freeport dan DBH Papua, melibatkan pemerintah daerah dalam proses perumusan kebijakan fiskal, dan memastikan pencairan dana yang adil, tepat waktu, serta proporsional.
“Keadilan fiskal bukan sekadar perhitungan angka-angka. Ia adalah perwujudan dari pengakuan terhadap hak konstitusional daerah, kedaulatan sumber daya, dan legitimasi pembangunan yang partisipatif dan inklusif. Pembangunan Papua bukan hanya soal Papua, ini soal keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” demikian Senator Eka Kristina Yeimo.