PAPUA.WAHANANEWS.CO, Manokwari - Undang-Undang Otonomi Khusus atau UU Otsus bagi Tanah Papua sudah 24 tahun terhitung sejak 21 November 2001 hingga 21 November 2025.
Tanggal 21 November 2001 secara resmi (legal) Pemerintah Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri mengesahkan berlakunya Undang Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Baca Juga:
Institut USBA Soroti Keppres No. 110P Tahun 2025: “Duplikasi Kelembagaan dan Sentralisasi Baru di Bawah Nama Otsus”
Undang undang tersebut terdiri dari 24 Bab dan 79 Pasal yang kurang lebih mengandung pengaturan sejumlah hal penting bagi "terjaganya " hubungan Jakarta-Papua pasca hingar-bingar tuntutan Papua Merdeka di Tahun 1999-2000.
Momentum penting yang menandai proses tuntutan Rakyat Papua untuk Diberikan hak menentukan nasibnya sendiri ditandai dengan peristiwa hadirnya 100 orang utusan Papua Asli di Istana Negara, Jakarta pada tanggal 26 Februari 1999.
Tim 100, nama dari kumpulan urusan rakyat Papua Asli tersebut bertemu langsung dengan Kepala Negara saat itu, Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie.
Baca Juga:
Gibran Nyatakan Siap Ditempatkan di Papua, Meski Keppres Belum Terbit
Apa aspirasi politik yang disampaikan oleh Tim 100 kepada Presiden Republik Indonesia Habibie saat itu ? Intinya, berikan kesempatan kepada kami Orang Papua Asli untuk menentukan nasib sendiri.
Argumentasinya, karena pelanggaran hak asasi manusia dalam arti yang seluas-luasnya terjadi sejak Integrasi Politik 1 Mei 1963.
Respon Presiden Habibie, "aspirasi yang anda sampaikan penting, tetapi mendirikan negara bukan perkara mudah, renungkan kembali aspirasi itu".
Proses perenungan berlangsung selama setahun, hingga lahirnya Undang-Undang Otsus 2001 tersebut.
Ada catatan dari salah satu anggota Tim Asistensi Penyusunan Draft UU Otsus Papua ketika itu, Dr. Ir. Agus Sumule dalam bukunya : Mencari Jalan Tengah Otonomi Khusus Provinsi Papua, tahun 2003, terbitan PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta pada halaman 10,
"Otonomi Khusus dapat digunakan sebagai suatu cara untuk menampung dan mengolah aspirasi masyarakat Papua di dalam konteks sistem hukum Republik Indonesia. Lebih dari itu, Otonomi Khusus dapat dipandang sebagai jawaban damai yang paling tersedia saat ini terhadap hubungan antagonistis sebagian besar orang Papua dengan Pemerintah Republik Indonesia."
Salah satu Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua yang pernah meraih Penghargaan Internasional bernama John Humhrey Freedom Award pada tahun 2005 di Montreal, Canada. Yan Christian Warinussy, SH berpandangan bahwa kurang lebih kebijakan negara Indonesia berbentuk Otonomi Khusus tersebut diharapkan mampu menjawab hadirnya sebuah situasi "quasi Negara" di Tanah Papua dengan Orang Papua Asli sebagai subjek penting. Artinya, Orang Papua diproteksi hak-hak dasar atau hak-hak asasinya.
Menurut Warinussy, semua proses dan peristiwa masa lalu (sebelum Integrasi 1963) disiapkan ruang politik untuk membahas dan mencari solusi damainya. Dimana segenap kegiatan ekonomi dan pembangunan di Tanah Papua, orang Papua menjadi subjek yang utama dan pertama.
Lebih lanjut Warinussy, simbol perjuangan penentuan nasib sendiri seperti Bendera Bintang Kejora semestinya diberikan tempat yang representatif dalam konteks implementasi UU Otsus Papua. Tidak boleh dijadikan sebagai "alat" untuk menjerat kelompok resisten Papua dengan tuduhan Makar atau separatis.
Militerisasi sebagai wujud kekerasan sebagai Memoria Pasionis Papua mesti diakhiri dengan memperkuat lembaga keamanan domestik seperti Polisi.
Fakta yang sungguh terbalik saat ini, dimana keberadaan Papua secara utuh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) berlangsung. Di seluruh Tanah Papua didominasi militer.
Pemekaran Wilayah Otonomi Baru menjadi 6 (enam) Provinsi saat ini asimetris dengan pengembangan dan penguatan instalasi militer. Ini menjadi contoh buruk dan tidak sejalan dengan prinsip dasar dari Kebijakan Otsus Papua itu sendiri.
Padahal di dalam UU Otsus Papua 2001 sama sekali tidak ada ruang pengaturan soal militerisasi di Tanah Papua. Bahkan dengan diberlakukannya kebijakan baru berbentuk Undang Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2021 justru terjadi "pemangkasan", kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Tanah Papua di dalam mengatur tata kelola pemerintahan dan pembangunan serta ekonomi dan keuangan.
Sambung Warinussy, hal ini menjadi soal penting yang patut direnungkan oleh Negara saat ini. Demikian juga rakyat Papua (asli) penting berkaca dengan fakta hari ini, dimana terdapat banyak bukti terjadi proses peminggiran (marginalisasi) Papua Asli secara politik, ekonomi bahkan sosial budaya.
"Dihilangkannya ketentuan Pasal 28 UU Otsus Papua Tahun 2001 tentang Partai Politik Lokal menjadi bukti marginalisasi hak politik Papua asli patut dievaluasi. Negara sudah jelas membuat pelanggaran substansi atas isi konsideran huruf e dari Undang Undang Otsus Papua Tahun 2001," ujar Warinussy.
"Berbagai kasus dugaan pelanggaran HAM berat seperti Wasior, Paniai, Wamena, Biak, Manokwari, Sorong, Jayapura, Serui, Nabire, Merauke dan tempat lainnya di Bumi Cenderawasih belum dilakukan oleh Negara dengan menghormati amanat Pasal 45 dan Pasal 46 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua," demikian Yan Christian Warinussy.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
BAB XII HAK ASASI MANUSIA
Pasal 45
(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan penduduk Provinsi Papua wajib menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua.
(2) Untuk melaksanakan hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah membentuk perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 46
(1) Dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa di Provinsi Papua dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
(2) Tugas Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
b. merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi.
[Redaktur: Sandy]