PAPUA.WAHANANEWS.CO - Siapa yang patut dipercaya ketika suara mayoritas ternyata hasil manipulasi segelintir orang? Bagaimana jika satu kesalahan kecil dijadikan senjata untuk menjatuhkan seluruh harga diri seseorang, bahkan membentuk opini palsu yang menyudutkan masyarakat?
Manipulasi adalah senjata tersembunyi. Ia bekerja dalam diam, tetapi menghancurkan seperti badai. Dalam banyak kasus di tengah masyarakat kita, sebuah kesalahan kecil – bahkan yang dibuat tanpa niat jahat – bisa dijadikan alasan untuk menyerang, membungkam, bahkan menghancurkan karakter seseorang atau kelompok masyarakat.
Baca Juga:
Mensos Tegaskan Seleksi Sekolah Rakyat Harus Bebas Suap dan Nepotisme
Para pelaku sering memakai narasi "kebenaran", padahal mereka sedang menjebak demi kepentingan pribadi.
Pelaku manipulasi bisa siapa saja: orang dalam, rekan kerja, teman seperjuangan, bahkan pihak yang berpura-pura peduli. Mereka mencari celah – kesalahan kecil atau sikap polos korban – lalu mengolahnya menjadi cerita besar yang menyesatkan. Korbannya? Masyarakat kecil, pemuda jujur, tokoh adat, guru, aktivis, bahkan umat biasa yang hidup sederhana.
Mereka disudutkan, dicap buruk, dan kehilangan kepercayaan publik.
Baca Juga:
Kasus KDRT DM Boru Manullang: Polisi Periksa Saksi Selasa Depan
Kisah ini terjadi di berbagai tempat, seperti di kantor, di kampung, di ruang-ruang organisasi, bahkan di lingkungan rohani. Di satu kampung di tanah Papua, seorang tokoh muda yang semula dipercaya sebagai pemimpin digulingkan secara diam-diam lewat gosip dan rekayasa. Kesalahan kecil saat mengatur dana komunitas, yang belum sempat diperbaiki, langsung dijadikan senjata oleh rekan yang iri hati.
Manipulasi bukan peristiwa seketika. Ini adalah proses. Dimulai sejak munculnya rasa iri, lalu dilanjutkan dengan pencarian celah, pembuatan narasi palsu, pembentukan opini publik, hingga akhirnya korban dijatuhkan. Ini bisa berlangsung selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
Karena haus kekuasaan. Karena ego. Karena ingin menjatuhkan orang yang dianggap “menghalangi jalan”. Karena pelaku merasa korban terlalu bersinar dan mengancam posisinya. Ada pula pelaku yang sudah lama menyimpan dendam, lalu memanfaatkan kesalahan kecil sebagai momen untuk balas dendam, dan yang paling menyakitkan, terkadang masyarakat ikut termakan narasi palsu itu.