Wahananews-Papua | Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari mengharapkan adanya hati yang bijaksana pada Presiden Republik Indonesia Ir. H. Joko Widodo untuk memberi perhatian bagi langkah-langkah penyelesaian kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat di Tanah Papua jelang peringatan HUT Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-77, 17 Agustus 2022.
Dimana seperti kasus dugaan pelanggaran HAM berat seperti Biak berdarah 6 Juli 1998, Manokwari berdarah 1999, Wasior berdarah 2001, Wamena berdarah 2003, Paniai berdarah 7 dan 8 Desember 2014 serta Manokwari berdarah 2 tanggal 27 dan 28 Oktober 2016.
Baca Juga:
Komnas HAM Kawal Pelanggaran HAM di Papua, LP3BH Manokwari: Bagaimana Tentang Kasus Dugaan pelanggaran HAM Berat Wasior dan Wamena
Hal disampaikan Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy, SH kepada Papua.Wahananews.co, pada Selasa (16/8) di Manokwari.
Menurut Warinussy, kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat tersebut ada yang dapat didorong penyelesaiannya secara hukum (litigasi) melalui Pengadilan HAM sebagaimana diatur dalam UU No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Sedangkan masih ada juga dapat diselesaikan melalui jalur non litigasi, misalnya melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Belum lama ini, Jaksa Agung telah menetapkan satu kasus yaitu Paniai sebagai kasus dugaan pelanggaran HAM yang Berat dengan seorang tersangka Tunggak berinisial IS.
Baca Juga:
Komisi HAM PBB Singgung Kasus Pembunuhan dan Mutilasi di Papua dalam Sidang di Jenewa Swiss
IS kurang lebih diduga tidak mampu mengendalikan pasukan yang berada di bawah kewenangannya, sehingga melakukan tindakan kekerasan yang mengakibatkan tewasnya sekitar 4 (empat) warga sipil di Paniai pada Desember 2014.
Sesungguhnya kalangan rakyat sipil berpandangan bahwa tersangka dugaan pelanggaran HAM berat Paniai tersebut lebih dari satu orang.
Di sisi lain, kasus Wasior, Wamena dan pula Biak sesungguhnya sudah banyak kehilangan bukti baik surat, petunjuk dan saksi.
Demikian pula kasus Biak berdarah serta Manokwari berdarah 1999 maupun 2016. Sehingga jalan non litigasi sudah saatnya dipertimbangkan oleh para korban pelanggaran HAM berat saat ini.
Sebab pembuktian dalam perkara dugaan pelanggaran HAM berat memang memiliki spesifikasi.
Itu sebabnya, kata Warinussy, saat ini tengah dilakukan pembinaan dalam konteks perekrutan calon hakim ad Hoc HAM oleh Mahkamah Agung (MA).
LP3BH Manokwari memandang bahwa keberadaan pengadilan HAM di tanah Papua menjadi agenda isu menarik yang semestinya tiba tangan Presiden untuk diputuskan segera jelang Peringatan HUT Proklamasi ke-77 ini.
Konsideran menimbang huruf e dari UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Disana telah ditegaskan bahwa negara mengakui belum adanya kemauan baik dalam menyelesaikan dugaan pelanggaran HAM berat di Tanah Papua.
Sehingga saat ini kita di Tanah Papua sangat rindu mendengar bahwa Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah dan atau Peraturan Presiden yang memerintahkan dilakukannya penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Tanah Papua baik melalui jalur litigasi maupun non litigasi.
Penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM di Tanah Papua mesti berlandaskan amanat pasal 45 dan 46 UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otsus Bagi Provinsi Papua serta UU No.26 Tahun 2000 Tentang Pelanggaran HAM yang berat, demikian Yan Christian Warinussy mengakhiri. [hot]