WahanaNews-Papua | Direktur Eksekutif Indonesia Justice Watch (IJW) Akbar Hidayatullah menilai status kasus Satelit Orbit 123 BT tidak bisa ditingkatkan kepada penyidikan.
Kasus ini murni bisnis, sehingga Kejaksaan Agung RI tidak perlu lagi mengumpulkan keterangan saksi untuk menetapkan tersangkanya.
Baca Juga:
RL Ditetapkan Tersangka Baru di Kasus Korupsi IUP PT Timah
"IJW menghimbau Kejaksaan Agung lebih objektif dan berhati-hati dalam menangani kasus ini," kata Akbar kepada wartawan melalui kerterangan tertulisnya, Senin (31/1/2022).
Akbar berpendapat, proses penyidikan Kejaksaan Agung RI tidak objektif, hal itu dapat dilihat dari prosesnya hanya mengarah kepada pihak swasta. Jika memang Kejaksaan Agung objektif, seharunya memeriksa pihak Kemenhan sebagai kuasa pengguna anggaran dalam kasus ini.
"Jangan sampai pihak swasta merasa ini2 sebagai upaya kriminalisasi atau kambing hitam atas kelalaian bayar negara pihak swasta, tentunya ini akan menjadi preseden buruk bagi Investasi di Indonesia," katanya.
Baca Juga:
Kasus Ferdy Sambo Masuk Pelaksanaan Tahap II, Fadil Zumhana Pastikan Kejagung Tidak Bisa Diintervensi
Secara yuridis, kata Akbar kasus ini tidak bisa disidik, karena merupakan kebijakan bebas (Freies Ermessen) Presiden Jokowi kepada Mantan Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu. Di mana Presiden Jokowi mengeluarkan kebijakan Freies Ermessen atau diskresi untuk menyelematkan slot Satelit Orbit 123 BT.
"Menurut hukum administrasi negara jika demi kepentingan umum pejabat boleh mengeluarkan diskresinya. Terkait hal ini Presiden telah mengeluarkan diskresinya," katanya.
Untuk itu Akbar menyarankan penyidik Kejaksaan Agung meminta pendapat dari pakar hukum administrasi negara, sebelum meminta keterangan kepada semua pihak yang diduga terlibat dalam kasus ini. Karena dalam penetapan tersangkat perlu dua alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP salah satunya keterangan ahli.
"Apakah Kejaksaan telah meminta pendapat ahli? jika tidak artinya prosedur di KUHAP telah dilanggar. IJW meminta Kejaksaan taat terhadap hukum acara," katanya.
Akbar berpendapat jika melihat kronologisnya bahwa, proyek satelit tersebut tidak memenuhi unsur pidana dan murni bisnis. Pendapat itu pertama adanya gugatan arbitrase yang merupakan penyelesaian sengketa bisnis dan kedua
pekerjaan ini merupakan penugasan Presiden Joko Widodo kepada Kemenhan dalam rapat terbatas pada 4 Desember 2015 karena terjadi kekosongan satelit orbit 123 yang dianggap strategis.
Setelah menerima perintah ini, kemudian ditunjuk satelit Artemis milik Avanti yang memang tersedia pada orbit tersebut dengan nilai sewa 30 juta US$. Karena tagihan yang belum dibayar oleh Kemenhan sebesar 16,8 juta US$ sehingga Avanti sebagai pemilik satelit menggugat Indonesia di Arbitrase Inggris.
Pada tahun 2019 Pengadilan Arbitrase Inggris menjatuhi hukuman agar Indonesia membayar Rp. 515 Miliar. Kemudian gugatan ke Arbitrase Internasional itu diikuti oleh pihak lain sehingga pemerintah Indonesia mengambil kesimpulan terjadi kerugian negara.
"Kerugian negara untuk membayar atas kekalahan di pengadilan arbitrase Inggris ini tentu tidak bisa dibebankan kepada pihak lain alias swasta. Pemerintah lah yang bertanggungjawab sebagai komitmen tidak taat terhadap perjanjian bisnis," katanya. [hot]