WahanaNews-Papua | Konsep dan gagasan dari Jaringan Damai Papua (JDP) mengenai Jedah Kemanusiaan (humanitarian pause) penting untuk direspon secara positif oleh Negara serta para pihak yang selama ini terlibat konflik dan kekerasan di Tanah Papua.
Sebab salah satu tujuan dari Jedah Kemanusiaan adalah untuk mencegah ekskalasi kekerasan dan konflik bersenjata di Tanah Papua.
Baca Juga:
Ini Pernyataan Sikap Jaringan Damai Papua (JDP) Terkait Penembakan Yan Christian Warinussy di Manokwari
Demikian juru bicara Jaringan Damai Papua (JDP) Yan Christian Warinussy, SH mengatakan dalam keterangan tertulis elektronik yang diterima Wahananews Papua, Senin (20/12).
Memang situasinya selama ini serba sulit, karena terdapat narasi tunggal untuk menjelaskan konflik di Tanah Papua yang cenderung didominasi oleh pendekatan keamanan (hard approach), kata Warinussy.
Dimana gerakan separatisme senantiasa dipertanggungkan oleh negara kepada Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), Kelompok Kriminal Sipil Bersenjata (KKSB), atau Kelompok Separatis dan Teroris (KST).
Baca Juga:
Jaringan Damai Papua (JDP) Serukan kepada Semua Pihak yang Berkonflik di Tanah Papua Menempuh Jalan Damai
Sayangnya, menghadapi kelompok tersebut yang seyogianya didekati dengan pola penegakan hukum (law enforcement) tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Karena penerapan hukum acara pidana tidak berjalan sesuai amanat UU RI No.8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), katanya lagi.
Yang terjadi adalah justru lebih mengarah pada terjadinya operasi militer yang dapat diukur dengan indikator meningkatnya penempatan personil militer negara di hampir seluruh wilayah Tanah Papua, termasuk wilayah konflik seperti Kabupaten Nduga, Kabupaten Puncak, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Deiyai, Kabupaten Dogiyai dan Kabupaten Intan Jaya di Provinsi Papua, terang Yan Christian Warinussy merinci beberapa wilayah konflik.
Tambahnya lagi, maupun kini di Kabupaten Maybrat, Kabupaten Tambrauw, Kabupaten Sorong Selatan dan Kabupaten Teluk Bintuni di Provinsi Papua Barat.
JDP memandang bahwa segenap upaya memberi label kepada Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan atau KKB sebagai kelompok teroris justru merupakan upaya mereduksi konflik separatis yang sesungguhnya berakar dari 4 (empat) persoalan utama di Tanah Papua, yaitu persoalan identitas dan status politik.
Kemudian persoalan kekerasan negara dan pelanggaran HAM, serta marginalisasi dan diskriminasi terhadap orang Papua.
Juga persoalan kegagalan pembangunan dalam konteks penyelenggaraan kebijakan otonomi khusus Bagi Tanah Papua.
Berkenaan dengan itu, “Saya selaku Juru Bicara JDP menyampaikan bahwa usulan kami agar dimulainya proses Jedah Kemanusiaan (humanitarian pause) tidak lahir dari sebuah angan-angan kosong belaka”, ungkap Warinussy.
Akan tetapi usulan ini didasarkan pada pemahaman atas fakta konflik bersenjata yang sudah berlangsung dalam limitasi waktu sangat panjang yakni lebih dari 50 tahun dan sudah saatnya diakhiri.
Mengakhiri konflik bersenjata yang sangat panjang dan telah menguras berbagai sumber daya bahkan melahirkan banyak korban di pihak para pihak yang bertikai seperti aparat TNI dan Polri maupun OPM atau TPN PB atau KKB maupun warga masyarakat sipil di Tanah Papua. Ini semata-mata mesti lahir dari kemauan baik para pihak itu sendiri, pungkasnya.
Keinginan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal TNI Dudung Abdullah belum lama ini untuk "mengakhiri konflik", penting dipahami dalam semangat membangun jalan menuju perdamaian (pathway to peace) yang perlu diresapi dan dibijaki oleh Presiden Republik Indonesia Ir. H. Joko Widodo selaku Kepala Negara melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.
Menurut JDP, saya selaku juru bicara Jedah Kemanusiaan dalam situasi konflik di Tanah Papua (Papua dan Papua Barat) dimaksudkan untuk menyalurkan bantuan demi kemanusiaan demi menyelamatkan jiwa manusia, menjangkau warga sipil dan melakukan rangkaian pembicaraan damai berbasis kemanusiaan, lanjut Yan Christian Warinussy.
Tujuannya adalah untuk kemanusiaan dan bukan sebagai bagian dari proses politik. Ini patut dipahami bersama.
Konvensi Jenewa tahun 1949 pada Pasal 1 ayat (3) dan ayat (4) memberi dasar bagi penerapan sebuah Jedah Kemanusiaan (humanitarian pause) atas sebuah konflik internasional seperti konflik bersenjata antar negara dan konflik bersenjata antar suatu negara dengan kelompok bersenjata di dalam negara sebagaimana halnya telah berlangsung lebih dari 50 tahun di Tanah Papua ini.
Sehingga JDP berharap agar Negara melalui Pemerintah Presiden Joko Widodo sungguh-sungguh mempertimbangkan penerapan Jedah Kemanusiaan bagi keselamatan warga sipil agar dapat memperoleh akses terhadap bantuan kemanusiaan dan perlindungan sebagai warga Negara, imbuh Warinussy.
Pemerintah Republik Indonesia sangat perlu mempertimbangkan untuk membangun jalan menuju perdamaian (pathway to peace) dengan pemberian pengampunan (forgiveness) dan rekonsiliasi politik dengan menggunakan mekanisme hukum yang berlaku di Indonesia.
Seperti hanya telah diamanatkan di dalam konsideran huruf e dan Pasal 46 UU No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, Juru bicara JDP Yan Christian Warinussy, SH mengakhiri. [hot]