WahanaNews-Papua | Jaringan Damai Papua (JDP) meminta perhatian negara melalui Presiden Joko Widodo bagi penyelesaian hukum terhadap kasus dugaan pembunuhan disertai mutilasi terhadap 4 (empat) warga sipil di Mimika, Papua.
Juga dugaan penganiayaan berat yang mengakibatkan tewasnya sekitar 2 (dua) dari 3 (tiga) korban warga sipil di Bade, Distrik Edera, Kabupaten MAPPI, Papua.
Baca Juga:
Kabinet Merah Putih, Jaringan Damai Papua (JDP) Sambut Positif Natalius Pigai Jadi Menteri Hak Asasi Manusia
Dimana dalam kedua kasus ini diduga keras telah melibatkan 6 hingga 10 orang anggota TNI aktif.
JDP ingin mengingatkan Presiden Republik Indonesia bahwa tindakan oknum anggota TNI Angkatan Darat ini merupakan akibat dari Negara masih terus mengedepankan pendekatan keamanan (security approach) dan atau pendekatan militer (military approach) dalam menyelesaikan konflik sosial politik selama lebih dari 50 tahun di Tanah Papua.
Demikian disampaikan Juru bicara Jaringan Damai Papua (JDP) Yan Christian Warinussy, SH, Sabtu (3/9) kepada media Papua.Wahananews.co dalam keterangan persnya di Manokwari.
Baca Juga:
Satgas Operasi Damai Cartenz Evakuasi Jenazah Pilot Helikopter, JDP Dorong Dilakukan Investigasi
Kata Warinussy, hal mana ditandai dengan menerapkan status Daerah Operasi Militer (DOB) di Tanah papua pasca alih status administratif Tanah Papua dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) ke tangan Pemerintah Indonesia tanggal 1 Mei 1963.
Sejak itu, negara melalui TNI AD senantiasa mengemukakan suatu narasi tentang betapa berbahayanya Organisasi Papua Merdeka (OPM) bagi bangsa dan negara, khususnya orang Papua (rakyat Papua).
Namun sayang sekali, karena justru tentara Indonesia yang hadir di Tanah Papua lebih sering ditemukan catatan justru menjadi seperti "pagar makan tanaman", ujarnya.
Sebagaimana diungkapkan oleh Amiruddin al-Rahab dalam bukunya : Heboh Papua, Perang Rahasia, Trauma dan Separatisme 2010.
Juru bicara Jaringan Damai Papua (JDP) Yan Christian Warinussy, SH
Lebih menyedihkan lagi, karena pihak militer Indonesia (TNI AD) senantiasa menganggap mereka tidak pernah melakukan kejahatan terhadap siapapun di Tanah Papua.
Alasannya, karena operasi-operasi militer yang mereka lancarkan atau penangkapan-penangkapan serta penyiksaan atau pembunuhan dengan segala bentuknya di Tanah Papua hanyalah dalam rangka menjalankan tugas sebagai pelindung NKRI dari rongrongan organisasi yang disebut OPM (Organisasi Papua Merdeka).
JDP melihat bahwa dalam era digitalisasi bahkan dalam suasana sebagai sebuah negara demokrasi terbesar keempat di dunia saat ini, seyogianya Negara melalui Pemerintahan Presiden Joko Widodo perlu mempertimbangkan disudahinya "Pendudukan" militer di tanah Papua.
Presiden Joko Widodo dan parlemen negara (DPR RI dan DPD RI) perlu memikirkan, mengkaji dan mendorong dilahirkannya sebuah keputusan politik bagi diakhirinya status DOM di Tanah Papua melalui Undang Undang atau setidaknya Peraturan Presiden RI, jelas Yan Christian Warinussy.
Langkah ini dapat dimulai dengan ditetapkannya status Jedah Kemanusiaan (Humanitarian pause) di seluruh Tanah Papua melalui pernyataan dan pengumuman Presiden Republik Indonesia, pungkasnya.
Sehingga segala langkah kemanusiaan bagi pelayanan kesehatan dan sosial bagi rakyat Papua di wilayah bekas konflik bersenjata dapat terjangkau.
JDP melihat bahwa langkah tersebut dengan sendirinya akan memberi jaminan bagi dihentikannya segenap pertikaian bersenjata antar negara melalui TNI dan Polri dengan kelompok-kelompok yang disebut selama ini sebagai Pengacau Keamanan atau Kriminal Bersenjata dan sebagainya.
Sehingga dapat melahirkan pemikiran ke arah penyelesaian damai terhadap konflik pandangan politik yang selama ini senantiasa diselesaikan dengan jalan angkat senjata dengan akibat jatuhnya korban lebih banyak di pihak rakyat sipil (civil society) tanpa penyelesaian hukum yang adil.
Menurut Warinussy, Kasus Mimika dan Mappi memberi catatan kritis bahwa negara tengah mempertontonkan kepada dunia bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam amanat pasal 7, pasal 8 dan pasal 9 dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM telah dan sedang terjadi bahkan berpotensi terus terjadi.
Sementara impunitas atau kekebalan aparat negara semisal TNI dan Polri yang diduga terlibat senantiasa dimungkinkan karena alasan demi menyelamatkan negara dari bahaya gangguan separatisme yang senantiasa menjadi alasan pembenaran kebiadaban oknum aparat keamanan di Tanah Papua.
JDP berharap kasus Mimika dan Mappi dapat menjadi pintu masuk bagi Presiden Joko Widodo untuk segera meninjau kembali penempatan beribu-ribu personil militer di Tanah Papua sejak sekarang ini, imbuhnya. [hot]