Papua.WahanaNews.co, Jayapura - Dulu di tahun 1980an dan jauh sebelumnya, konflik perang suku (tribal war) merupakan suatu konflik antar aliansi masyarakat karena ada keterkaitan dengan filosofi hidup.
Perang menjadi suatu 'Kewajiban Rutin' sebagai akibat siklus kehidupan yang tidak menentu. Mencari dan mengambil roh pihak lawan, mengalahkan kekuatan musuh dan lain sebagainya, adalah bagian integral dari praktik religi tradisional di Baliem.
Baca Juga:
Paslon John Tabo dan Ones Pahabol Hadiri Hut Injil Masuk Gereja Baptis West Papua di Wamena
Perang suku dijadikan sebagai ajang membuka dan mendamaikan kemalangan hidup tiap suku di Lembah Baliem.
Sifat perang antar aliansi tepatnya pada zaman itu terjadi secara serentak. Kadang terencana melibatkan semua anggota klen yang terlibat dengan siap menerima seluruh dampak atau akibatnya.
Bisa dikatakan sebagai perang holistik antar dua atau lebih aliansi yang terlibat.
Baca Juga:
Universitas Baliem (UNIBA) Papua Melepas 117 Mahasiswa Mengikuti KKN
Perang mati hidup tiap aliansi karena tiap aliansi yang kalah akan mengungsi atau ditaklukan. Harta benda diambil, rumah dijarah dan dibakar, para wanita diambil bersama anak-anak ikut atau kadang turut jadi korban.
Jadi dalam berbagai studi literatur yang membahas tentang perang suku di Baliem terjadi tidak hanya bermuatan politik semata. Ada dimensi religi tradisional yang turut ikut berperan memicu terjadinya konflik tersebut.
Terutama soal kehidupan kolektif masyarakat suatu aliansi yang mana mengalami musibah terus menerus dan hidup dalam derita dan kemalangan.