Semua itu menandaskan bahwa kohesi sosial masyarakat Lembah Baliem dalam solidaritas kehidupan berbangsa dan bernegara belum terlalu baik.
Meski disisi lain ada kesan pembiaran oleh institusi keamanan negara, disisi lain menyebabkan negara terkesan gagal hadir di tengah masyarakat memberikan keamanan dan kenyamanan hidup.
Baca Juga:
Paslon John Tabo dan Ones Pahabol Hadiri Hut Injil Masuk Gereja Baptis West Papua di Wamena
Negara juga terlihat tidak berdaya menghadapi kekuatan suku atau aliansi yang di Wamena. Ya, meskipun negara patut diduga turut menjalankan misi khusus tertentu pada masyarakat Lembah Baliem dan sekitarnya dengan membiarkan lestarinya habitus konflik antar aliansi tersebut.
Dengan demikian, sudah saatnya negara mengambil langkah dan posisi tegas dalam menghadapi berbagai konflik antar aliansi atau masyarakat di Wamena.
Negara harus melihat tiap elemen masyarakat Wamena sebagaimana masyarakat Jawa dan Nusantara yang multietnis untuk dilindungi dan dijamin hak-hak konstitusional keamanan pribadinya.
Baca Juga:
Universitas Baliem (UNIBA) Papua Melepas 117 Mahasiswa Mengikuti KKN
Kultur politisasi 'Perang Suku' yang mulai dilakukan pasca masuknya pemerintahan Indonesia untuk menggolkan kepentingan elit politik, kepentingan agenda kenegaraan, hingga akibat kasus-kasus kriminal harusnya dicegah dan hindari.
Mulai dari pengetatan dan pelarangan membawa alat tajam di tiap kabupaten se-Provinsi Papua Pegunungan dan juga pelaksanaan 'sweeping rutin' demi menciptakan kota yang DANI: Damai, Aman, Nyaman dan Indah di Papua Pegunungan.
Adalah naif bila negara sebesar republik ini gagal menegakkan hukum nasionalnya kepada oknum-oknum elit lokal yang kerap melumuri tangan dan dahi mereka dengan menjadikan perang suku sebagai tameng atau ajang unjuk jago dan keberadaannya melalui meterai darah rakyat kecil polos tak berkepentingan.