Proses perenungan berlangsung selama setahun, hingga lahirnya Undang-Undang Otsus 2001 tersebut.
Ada catatan dari salah satu anggota Tim Asistensi Penyusunan Draft UU Otsus Papua ketika itu, Dr. Ir. Agus Sumule dalam bukunya : Mencari Jalan Tengah Otonomi Khusus Provinsi Papua, tahun 2003, terbitan PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta pada halaman 10,
Baca Juga:
Institut USBA Soroti Keppres No. 110P Tahun 2025: “Duplikasi Kelembagaan dan Sentralisasi Baru di Bawah Nama Otsus”
"Otonomi Khusus dapat digunakan sebagai suatu cara untuk menampung dan mengolah aspirasi masyarakat Papua di dalam konteks sistem hukum Republik Indonesia. Lebih dari itu, Otonomi Khusus dapat dipandang sebagai jawaban damai yang paling tersedia saat ini terhadap hubungan antagonistis sebagian besar orang Papua dengan Pemerintah Republik Indonesia."
Salah satu Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua yang pernah meraih Penghargaan Internasional bernama John Humhrey Freedom Award pada tahun 2005 di Montreal, Canada. Yan Christian Warinussy, SH berpandangan bahwa kurang lebih kebijakan negara Indonesia berbentuk Otonomi Khusus tersebut diharapkan mampu menjawab hadirnya sebuah situasi "quasi Negara" di Tanah Papua dengan Orang Papua Asli sebagai subjek penting. Artinya, Orang Papua diproteksi hak-hak dasar atau hak-hak asasinya.
Menurut Warinussy, semua proses dan peristiwa masa lalu (sebelum Integrasi 1963) disiapkan ruang politik untuk membahas dan mencari solusi damainya. Dimana segenap kegiatan ekonomi dan pembangunan di Tanah Papua, orang Papua menjadi subjek yang utama dan pertama.
Baca Juga:
Gibran Nyatakan Siap Ditempatkan di Papua, Meski Keppres Belum Terbit
Lebih lanjut Warinussy, simbol perjuangan penentuan nasib sendiri seperti Bendera Bintang Kejora semestinya diberikan tempat yang representatif dalam konteks implementasi UU Otsus Papua. Tidak boleh dijadikan sebagai "alat" untuk menjerat kelompok resisten Papua dengan tuduhan Makar atau separatis.
Militerisasi sebagai wujud kekerasan sebagai Memoria Pasionis Papua mesti diakhiri dengan memperkuat lembaga keamanan domestik seperti Polisi.
Fakta yang sungguh terbalik saat ini, dimana keberadaan Papua secara utuh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) berlangsung. Di seluruh Tanah Papua didominasi militer.