Pemekaran Wilayah Otonomi Baru menjadi 6 (enam) Provinsi saat ini asimetris dengan pengembangan dan penguatan instalasi militer. Ini menjadi contoh buruk dan tidak sejalan dengan prinsip dasar dari Kebijakan Otsus Papua itu sendiri.
Padahal di dalam UU Otsus Papua 2001 sama sekali tidak ada ruang pengaturan soal militerisasi di Tanah Papua. Bahkan dengan diberlakukannya kebijakan baru berbentuk Undang Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2021 justru terjadi "pemangkasan", kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Tanah Papua di dalam mengatur tata kelola pemerintahan dan pembangunan serta ekonomi dan keuangan.
Baca Juga:
Institut USBA Soroti Keppres No. 110P Tahun 2025: “Duplikasi Kelembagaan dan Sentralisasi Baru di Bawah Nama Otsus”
Sambung Warinussy, hal ini menjadi soal penting yang patut direnungkan oleh Negara saat ini. Demikian juga rakyat Papua (asli) penting berkaca dengan fakta hari ini, dimana terdapat banyak bukti terjadi proses peminggiran (marginalisasi) Papua Asli secara politik, ekonomi bahkan sosial budaya.
"Dihilangkannya ketentuan Pasal 28 UU Otsus Papua Tahun 2001 tentang Partai Politik Lokal menjadi bukti marginalisasi hak politik Papua asli patut dievaluasi. Negara sudah jelas membuat pelanggaran substansi atas isi konsideran huruf e dari Undang Undang Otsus Papua Tahun 2001," ujar Warinussy.
"Berbagai kasus dugaan pelanggaran HAM berat seperti Wasior, Paniai, Wamena, Biak, Manokwari, Sorong, Jayapura, Serui, Nabire, Merauke dan tempat lainnya di Bumi Cenderawasih belum dilakukan oleh Negara dengan menghormati amanat Pasal 45 dan Pasal 46 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua," demikian Yan Christian Warinussy.
Baca Juga:
Gibran Nyatakan Siap Ditempatkan di Papua, Meski Keppres Belum Terbit
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
BAB XII HAK ASASI MANUSIA
Pasal 45
(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan penduduk Provinsi Papua wajib menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua.
(2) Untuk melaksanakan hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah membentuk perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 46
(1) Dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa di Provinsi Papua dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
(2) Tugas Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
b. merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi.
[Redaktur: Sandy]