"Apakah Kejaksaan telah meminta pendapat ahli? jika tidak artinya prosedur di KUHAP telah dilanggar. IJW meminta Kejaksaan taat terhadap hukum acara," katanya.
Akbar berpendapat jika melihat kronologisnya bahwa, proyek satelit tersebut tidak memenuhi unsur pidana dan murni bisnis. Pendapat itu pertama adanya gugatan arbitrase yang merupakan penyelesaian sengketa bisnis dan kedua
Baca Juga:
RL Ditetapkan Tersangka Baru di Kasus Korupsi IUP PT Timah
pekerjaan ini merupakan penugasan Presiden Joko Widodo kepada Kemenhan dalam rapat terbatas pada 4 Desember 2015 karena terjadi kekosongan satelit orbit 123 yang dianggap strategis.
Setelah menerima perintah ini, kemudian ditunjuk satelit Artemis milik Avanti yang memang tersedia pada orbit tersebut dengan nilai sewa 30 juta US$. Karena tagihan yang belum dibayar oleh Kemenhan sebesar 16,8 juta US$ sehingga Avanti sebagai pemilik satelit menggugat Indonesia di Arbitrase Inggris.
Pada tahun 2019 Pengadilan Arbitrase Inggris menjatuhi hukuman agar Indonesia membayar Rp. 515 Miliar. Kemudian gugatan ke Arbitrase Internasional itu diikuti oleh pihak lain sehingga pemerintah Indonesia mengambil kesimpulan terjadi kerugian negara.
Baca Juga:
Kasus Ferdy Sambo Masuk Pelaksanaan Tahap II, Fadil Zumhana Pastikan Kejagung Tidak Bisa Diintervensi
"Kerugian negara untuk membayar atas kekalahan di pengadilan arbitrase Inggris ini tentu tidak bisa dibebankan kepada pihak lain alias swasta. Pemerintah lah yang bertanggungjawab sebagai komitmen tidak taat terhadap perjanjian bisnis," katanya. [hot]