WahanaNews-Papua | Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy, SH, juga selaku Peraih Penghargaan Internasional di bidang Hak Asasi Manusia (HAM) John Humphrey Freedom Award tahun 2005 di Canada mendesak Majelis Umum Perserikatan Bangsa - Bangsa (PBB) untuk dapat memberi kesempatan bagi pembahasan dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang berat di Tanah Papua sepanjang lebih dari 50 tahun pada sidang tahunan bulan September 2022 nanti.
Dugaan pelanggaran HAM berat telah terjadi semenjak langkah integrasi politik 1 Mei 1963 yang lalu.
Baca Juga:
Kemen PPPA Belajar dari Tokoh Perempuan Sjamsiah Achmad
Di mana sesungguhnya awalnya sudah dimulai sejak adanya upaya inflasi militer pada tahun 1961 pasca dikumandangkannya Trikora 19 Desember 1961.
Bahkan secara politik hal tersebut dinyatakan melalui penandatanganan naskah Perjanjian New York (New York Agreement) 15 Agustus 1962 yang memungkinan dilakukannya referendum tanpa pemenuhan hak-hak politik rakyat Papua secara adil dan bermartabat.
Demikian disampaikan Yan Christian Warinussy, SH dalam siaran pers kepada Papua.Wahananews.co, pada Jumat (9/9).
Baca Juga:
DUHAM Sebut 30 Macam HAM Menurut PBB, Simak Apa Saja!
LP3BH Manokwari mendapat beberapa fakta berikut yang menunjukkan secara jelas tentang ketidakadilan pelaksanan referendum tahun 1969 yang disebut Act of free choice (tindakan pilihan bebas).
Pemerintah Indonesia ketika itu menyebut referendum tersebut sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).
Fakta yang dimaksud adalah pertama, pemilihan orang-orang sebagai wakil rakyat Papua tidak seluruhnya adalah orang asli Papua.