Dan dari situ lah kemudian saya bisa beli buku, bisa beli sepatu, bisa beli kelereng. Itu berlanjut terus sampai dengan SMP, saya SMP pun, karena memang kondisi orang tua yang susah, akhirnya saya pernah jadi kondektur angkot. Jadi jualan ikan di pasar, itu pernah. Terus pernah jadi helper excavator dari kontraktor, itu pernah. Tinggal di hutan pada saat musim libur sekolah. Saya SMP kelas 3, saya di SMEA, itu jadi sopir angkot.
Itu saat Anda masih di Papua?
Baca Juga:
Pameran "Torang Creative & Ecotourism Festival 2025, Bank Indonesia Fasilitasi Produk Pala Tomandin Fakfak Tampil di Papua Barat Daya
Masih di Papua. Jadi bagi saya, sekolah sambil cari duit itu adalah sebuah keharusan, keterpaksaan dalam rangka melanjutkan hidup, melanjutkan sekolah, dan sekaligus membantu orang tua saya.
Saya kuliah pun begitu, jadi saya waktu berangkat kuliah itu orang tua nggak pernah tahu, bahwa saya itu kuliah. Karena saya itu hanya berangkat dan bawa ijazah, baju saya cuma tiga, kemudian modal saya cuma SIM, dan kantong kresek, saya naik Perintis, dari Fakfak ke Jayapura. Itu dua minggu baru tiba ke Jayapura, naik Perintis kan. Campur dengan kambing-kambing di situ, apa namanya, kayu, keladi, sudah campur, Kapal Perintis itu.
Jadi memang, waktu itu berangkat karena melihat teman-teman seangkatan saya pergi kuliah, dan saya tidak tahu harus kemana masa hidup di terminal terus, (maka) mencoba lah berangkat ke Jayapura.
Baca Juga:
Kampung Sum Wujudkan Program Pala Unggul, Tanam Pala di Koridor Ruas Jalan Teluk Patipi Fakfak
Orang tua tahu Anda pergi ke Jayapura?
Orang tahu kalau saya berangkat ke Jayapura, tapi tidak tahu saya berangkat kuliah, kan ‘kamu dapat duit dari mana’. Saya berangkat kuliah itu kan, saya cuma bawa ijazah saya saja, saya berangkat ke Jayapura, sama almarhum ayah saya. Ngapain kamu di Jayapura? ‘udalah cari nasib saja’. Berangkat saya.
Lantas apa yang dilakukan waktu di Jayapura?